Cacing Raksasa Kepercayaan Bangsa Eropa Utara Sebelum Masuknya Agama Kristen
Siapa yang Berwenang Menyatakan Suatu Aliran Kepercayaan Sesat?
Menjawab pertanyaan Anda yang kedua, pada dasarnya Pasal 1 Penetapan Presiden 1/1965 menyebutkan:
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Bagi yang melanggar ketentuan di atas, akan diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu dalam Suatu Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Lalu, siapa yang berwenang menyimpulkan aliran kepercayaan tertentu itu sesat atau terlarang? Kewenangan ini ada pada Presiden, setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Pada praktiknya, ada juga Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (“Bakor Pakem”) yang melakukan pengawasan. Sebenarnya, Bakor Pakem tersebut adalah Tim Koordinasi Pengawasan Kepercayaan dan Aliran Keagamaan (“Tim Pakem”) yang merupakan tim gabungan yang melakukan koordinasi pengawasan aliran kepercayaan dan aliran keagamaan dalam masyarakat.
Kemudian, dalam praktiknya, berikut adalah tugas dari Tim Pakem:
Tim Pakem terdiri atas:
Keberadaan Agama di Indonesia
Menjawab pertanyaan Anda yang ketiga, dalam Penjelasan Pasal 1 Penetapan Presiden 1/1965 disebutkan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius).
Tapi, hal demikian tidak berarti bahwa agama-agama lain dilarang di Indonesia. Penganut agama-agama di luar 6 (enam) agama di Indonesia mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan dibiarkan keberadaanya, selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia. Karena pada dasarnya, kebebasan memeluk agama atau kepercayaan adalah hak setiap warga negara.
Lantas, sebagaimana yang Anda tanyakan, apakah ilegal untuk tidak menganut agama di Indonesia? Dalam kata lain, apakah ilegal untuk tidak mengakui keberadaan Tuhan di Indonesia? Guna memperjelas pemahaman Anda, sebaiknya kita pahami dulu apa yang dimaksud dengan ateisme. Istilah ateisme berasal dari Bahasa Yunani yakni atheos, dan istilah ini selalu digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan agama. Ateisme secara umum merupakan pandangan filosofi yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi.
Kemudian, Oemar Seno Adji berpendapat bahwa negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia, salah satunya Pancasila. Karena Pancasila diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila. Salah satu ciri pokok dalam negara hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap freedom of religion. Freedom of religion tercermin dalam Sila Pertama Pancasila yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa, yang bermakna kewajiban setiap manusia di Indonesia menghormati agama dan kepercayaan orang lain, karena merupakan hak setiap orang untuk memilih, memeluk, dan mengamalkan ajaran-ajaran agamanya secara bebas tanpa mengalami gangguan dan juga tanpa mengganggu pihak lain.
Tetapi, kebebasan beragama di negara hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tidak ada tempat bagi ateisme. Hal ini sangat berbeda misalnya dengan Amerika Serikat yang memahami konsep freedom of religion baik dalam arti positif maupun negatif.
Kebebasan Memeluk Agama dan Kepercayaan sebagai HAM
Pada dasarnya, hak beragama merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (“HAM”) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau dikenal dengan istilah non-derrogable rights. Dengan demikian, kebebasan memeluk agama atau kepercayaan adalah hak setiap warga negara, dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dasar hukum yang menjamin kebebasan memeluk agama di Indonesia diatur pada Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Selanjutnya, kebebasan memeluk kepercayaan tercantum dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yaitu:
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Kebebasan beragama dan menganut kepercayaan juga diatur dalam Pasal 22 UU HAM yang berbunyi:
Lebih lanjut, pada tahun 1966, Majelis Umum PBB mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (“ICCPR”) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Sebagai negara hukum yang menjunjung penegakan dan penghormatan HAM, Indonesia sudah mengambil langkah dengan meratifikasi ICCPR melalui UU 12/2005. Berkaitan dengan kebebasan beragama dan menganut kepercayaan, Pasal 18 ICCPR mengatur bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan pilihannya.
Akan tetapi, meskipun kebebasan memeluk agama atau kepercayaan adalah hak setiap warga negara dan termasuk sebagai hak asasi, ini bukan berarti tanpa pembatasan, karena setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Jadi, HAM tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang.
Lukman Hakim Saifuddin dan Patrialis Akbar, selaku mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, sebagaimana dikutip dari Ketentuan HAM dalam UUD Dikunci oleh Pasal 28J, menjelaskan kronologi dimasukkannya 10 pasal baru yang mengatur tentang HAM dalam amandemen kedua UUD 1945, termasuk di antaranya pasal-pasal yang kami sebutkan di atas. Patrialis Akbar berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan soal HAM dari Pasal 28A sampai 28I UUD 1945 telah dibatasi atau “dikunci” oleh Pasal 28J UUD 1945.
Pembatasan pelaksanaan HAM juga dibenarkan oleh Maria Farida, pakar ilmu perundang-undangan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Maria Farida menyatakan bahwa HAM bisa dibatasi, sepanjang hal itu diatur dalam undang-undang. Pendapat Maria Farida selengkapnya dapat Anda simak dalam Hukuman Mati Senafas dengan Semangat Perlindungan HAM.
sumedangekspres – Mitologi Nordik merupakan kepercayaan masyarakat Eropa Utara (negara Denmark, Norwegia, Islandia, dan Swedia) sebelum kedatangan agama Kristen. Kepercayaan dan legenda ini menyebar ke negara-negara Eropa Utara lain, termasuk Islandia yang memiliki sumber-sumber mitologi tersebut.
Mitologi tersebut merupakan kumpulan dari kepercayaan kuno orang-orang Eropa Utara yang berisi kisah-kisah tentang makhluk supernatural, kosmologi, dan mitos-mitos lainnya yang ditulis berbentuk puisi atau prosa dan terangkum dalam Edda. Mitologi tersebut ditulis sebelum dan setelah kedatangan agama Kristen di Eropa Utara.
Dalam cerita rakyat Skandinavia, mitologi tersebut masih bertahan, dan di daerah pedesaan, tradisi kuno tersebut masih tampak sampai sekarang. Mitologi tersebut juga memberi pengaruh dan inspirasi dalam kesusastraan zaman sekarang.
Baca Juga:HP OPPO Reno8 T 5G Keluaran Terbaru Maret 2023Tekan Stunting Dengan Dapur Sehat
Menurut mitologi Nordik, Ada tiga golongan makhluk yang lebih berkuasa daripada manusia, yaitu: Æsir, Vanir, dan Jotun. Æsir dan Vanir merupakan golongan yang sangat dekat, karena merupakan golongan para Dewa. Æsir dan Vanir bersama-sama menciptakan alam semesta, mengatur kehidupan manusia, meskipun mereka pernah bertarung dengan sesama.
Musuh para Æsir dan Vanir adalah para Jotun atau raksasa (bahasa Inggris kuno: Eontenas atau Entas). Mereka mirip dengan para Titan dan Gigantes dalam mitologi Yunani. Kata Jotun sering diterjemahkan sebagai raksasa, meskipun kata Troll atau setan lebih cocok.
Para Jotun atau raksasa tidak selamanya jahat. Æsir sebagai golongan para Dewa berselisih dengan Jotun, meskipun para Dewa dan Jotun pernah menjalin hubungan dan saling menikah, seperti Thor menikah dengan Járnsaxa; Odin bersaudara dengan Loki; Hel (setengah Dewi setengah raksasa) bersaudara dengan Loki.
Dalam mitologi, Jotun wanita biasanya tidak jahat (seperti dalam kisah, Grid membantu Thor) dan menikahi golongan Dewa (seperti dalam kisah, Thor menikahi Járnsaxa).
Selain Dewa dan raksasa, mitologi Nordik juga menyebutkan adanya monster seperti Jörmungandr (Si ular laut) dan Fenrir (srigala raksasa) yang dapat ditemukan di sekitar Midgard. Dua monster tersebut dikatakan sebagai anak buah Loki, dewa pencari masalah, seorang keturunan Jotun.
Cacing Raksasa sepanjang 1.8 meter ditemukan di di Desa Blang Pante, Kecamatan Paya Bakong Aceh Utara, Selasa (24/4/2012). (PROHABA/IBRAHIM ACHMAD)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Riftia pachyptila, yang umum dikenal sebagai cacing tabung raksasa, adalah sebuah hewan invertebrata laut yang berada pada filum Annelida (sebelumnya dikelompokkan pada filum Pogonophora dan Vestimentifera).[1] R. pachyptila menjadi satu-satunya anggota pada genus Riftia.[2] Cacing ini berkerabat dengan cacing tabung yang umum ditemukan di zona pelagik dan zona intertidal. Selain itu, cacing ini dapat ditemukan pada dasar Samudera Pasifik didekat ventilasi hidrotermal. Ventilasi tersebut memberi suhu sekeliling alami di lingkungannya, yang berkisar antara 2 hingga 30 °C.[3] Cacing tabung raksasa dapat mentolerir tingkat hidrogen sulfida tinggi, dan dapat tumbuh hingga 3 meter panjangnya,[4] dengan diameter tabung 4 cm.
Nama umumnya, "cacing tabung raksasa", juga merujuk kepada spesies terbesar hidup dari cacing kapal, Kuphus polythalamius, yang sebenarnya merupakan sebuah moluska bivalvia.
Cacing ini mendapat nutrisi melalui simbiosis kemoautotrof dengan koloni bakteri yang mereka simpan dalam tubuhnya.
“Selama serangkaian ekspedisi ke Sirius Passet yang sangat terpencil di wilayah terjauh Greenland Utara, lebih dari 82,5 derajat utara, kami telah mengumpulkan beragam organisme baru yang menarik,” kata Tae-Yoon Park dari Korea Polar Research Institute, yang juga terlibat dalam penelitian, dalam sebuah pernyataan.
Berhasilnya pelestarian yang luar biasa di Sirius Passet memberikan para peneliti akses ke detail anatomi yang sangat menarik, termasuk sistem pencernaan, anatomi otot, dan sistem saraf Timorebestia. Tae-Yoon mengungkapkan bahwa fosil-fosil tersebut membuka jendela baru untuk memahami struktur tubuh cacing raksasa ini. Informasi ini mencakup aspek-aspek penting seperti bagaimana sistem pencernaan mereka bekerja, struktur otot yang mendukung kehidupan mereka, dan kompleksitas sistem saraf yang memungkinkan mereka berfungsi sebagai predator purba.
Meskipun kerabat modern Timorebestia hidup di bagian bawah rantai makanan, memakan zooplankton dan ikan kecil, peran Timorebestia sebagai ‘binatang teror’ jauh lebih dominan dalam ekosistem sekitarnya. Temuan ini memperlihatkan bahwa Timorebestia memiliki dampak yang signifikan dalam mengatur populasi hewan laut lainnya pada masa itu. Analisis fosil juga menunjukkan adanya sisa-sisa arthropoda berenang yang lebih besar dalam sistem pencernaan Timorebestia, mengungkapkan hubungan dan interaksi yang kompleks antara predator dan mangsa dalam ekosistem laut purba.
MENGHASILKAN GURU PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN YANG UNGGUL DAN MEMILIKI SPIRITUALITAS DI KAWASAN ASIA TENGGARA PADA TAHUN 2025
Kembali ke : Halaman Utama
Bangsa-bangsa Eropa yang datang pertama kali ke Nusantara antara lain Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris. Orang Portugis adalah bangsa Eropa yang paling pertama masuk ke Indonesia setelah mengintari benua Afrika. Kemudian, Spanyol masuk ke Indonesia setelah mengintari Benua Amerika dan mengarungi Samudera Pasifik. Belanda dan Inggris mengikuti jalur yang dilalui oleh Portugis.
Baca juga : Faktor-faktor Penyebab Kedatangan Bangsa Eropa di Indonesia
Bangsa Portugis merupakan bangsa Eropa pertama yang mencapai Kepulauan Nusantara. Pencarian mereka untuk mendominasi sumber perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan pada abad ke-16 dan usaha penyebaran Katolik. Bangsa Portugis mesuk ke Indonesia melalui Goa-India dan Malaka.
Tahun 1487, armada Portugis yang dipimpin Bartolomeus Dias mengitari Tanjung Harapan dan memasuki perairan Samudra Hindia. Selanjutnya pada tahun 1498, pelayaran dilanjutkan di bawah pimpinan Vasco da Gama sampai di Calicut dan Goa, India.
Kemudian pada tahun 1511 dari India, Portugis mengirim ekspedisinya di bawah pimpinan Alfonso d’Alburquerque, mengikuti perjalanan para pedagang Islam menuju Nusantara. Pada tahun itu juga Portugis berhasil menduduki Malaka, pusat perdagangan Islam di Asia Tenggara.
Pada awalnya Bangsa Portugis hendak melakukan perjanjian dagang dengan dengan Kerajaan Sunda di Parahyangan pada tahun 1512. Namun, hal itu gagal karena mendapat penyerangan oleh raja-raja Islam di Jawa seperti Demak dan Banten yang menguasai pantai utara Jawa.
Bangsa Portugis mengalihkan arah ke Kepulauan Maluku, yang terdiri atas berbagai kerajaan daerah yang awalnya berperang satu sama lain. Kemudian Portugis tiba di Ternate, Maluku tahun 1512. Awalnya masyarakat Maluku dan Sultan Ternate menyambut baik kepada Portugis agar dapat membeli rempah-rempah dan membantu Ternate menghadapi para musuhnya, terutama Kesultanan Tidore.
Pada saat itu, Kesultanan Ternate di Maluku diperintah oleh Kaicil Darus meminta bantuan Portugis untuk mendirikan sebuah benteng agar terhindar dari serangan daerah lain. Tahun 1522, Portugis mengabulkan permintaan sultan ternate dengan mendirikan benteng Saint John. Benteng tersebut harus dibayar mahal dengan perjanjian monopoli perdagangan rempah-rempah, perjanjian tersebut ternyata menimbulkan kesengsaraan rakyat tidak boleh menjual rempah dengan harga bebas karna harga sudah ditetapkan portugis dengan harga murah. Akibatnya terjadi permusuhan antara Ternate dan Portugis.
Sebab-sebab perlawanan rakyat Ternate terhadap Portugis, antara lain:
Lalu Bangsa Spanyol pun tiba di Maluku, timbullah pertentangan antara bangsa Portugis dan Spanyol, pertikaian tersebut sejalan dengan adanya pertentangan Sultan Ternate dan Sultan Tidore. Untuk menyelesaikan pertikaian antara Portugis dan Spanyol itu, pada tahun 1529 dilakukan perjanjian Saragosa. Isi perjanjian itu antara lain:
Bangsa Spanyol tertarik melihat keberhasilan bangsa Portugis menemukan jalur pelayaran menuju daerah asal rempah-rempah. Semangat untuk menjelajahi samudra, khususnya untuk mencari jalur pelayaran ke Asia terus dilakukan oleh bangsa Spanyol. Penguasa Spanyol, Charles V, memerintahkan Ferdinand Magellan untuk menemukan jalur langsung ke Kepulauan Maluku sebagai pusat penghasil rempah-rempah.
Berbekal pengetahuan yang dipelajarinya dari penjelajahan yang telah dilakukan oleh Columbus dan penjelajah-penjelajah lainnya, Magellan memulai pelayarannya dengan mengambil jalur ke arah barat-daya melintasi Samudra Atlantik, dan sampai ke ujung selatan Benua Amerika dan melalui selat sempit yang sekarang diberi nama Selat Magellan. Dari sana ia menyeberang ke Samudra Pasifik menuju arah Barat dan sampai di Kepulauan Filipina pada tahun 1521.
Di kepulauan tersebut, Magellan terlibat konflik antar kerajaan. Dalam sebuah perang, akhirnya Magellan mati terbunuh. Tewasnya Magellan tidak menjadikan pelayaran berhenti. Akan tetapi, di bawah pimpinan Sebastian del Cano, pelayaran terus dilakukan sampai tiba kembali di Spanyol pada tahun 1522.
Pada tahun 1521, armada dua kapal milik Spanyol berhasil mencapai Maluku yang pada waktu itu sedang dilanda persaingan antara Ternate dan Tidore. Kondisi demikian dimanfaatkan oleh Spanyol dengan memberikan dukungan kepada Tidore dalam menghadapi Ternate yang juga didukung oleh kekuatan Portugis. Rombongan Spanyol diterima baik oleh masyarakat dan dijadikan sekutu oleh Kerajaan Tidore. Hal ini dikarenakan pada saat itu Tidore sedang bermusuhan dengan Kerajaan Ternate yang bersekutu dengan Portugis.
Sebaliknya, kedatangan Spanyol di Maluku bagi Portugis merupakan pelanggaran atas hak monopoli. Oleh karena itu, timbullah persaingan antara Portugis dan Spanyol. Sebelum terjadi perang besar antara kedua bangsa tersebut yang akhirnya diselesaikan dengan Perjanjian Saragosa. Berdasarkan perjanjian tersebut, Spanyol harus keluar dari wilayah Maluku dan kembali ke Filipina. Sedangkan Portugis tetap berkuasa di Maluku dan melakukan aktivitas monopoli perdagangan.
Orang Belanda pertama kali masuk ke Nusantara pada tahun 1596, berpuluh-puluh tahun setelah kedatangan Portugis dan Spanyol. Usaha pencarian rempah oleh Belanda dipengaruhi oleh dominasi Spanyol dan Portugis, dua bangsa penguasa terbesar pada masa itu. Awalnya, Belanda membeli rempah-rempah dari Lisbon, Portugal. Namun, sejak Spanyol menguasai wilayah Belanda, mereka dilarang menerima membeli rempah dari Portugis.
Sebenarnya, baik Spanyol dan Portugis mencoba merahasiakan keberadaan kepulauan Nusantara dari bangsa lain di Eropa. Namun, terdapat awak kapal asal Belanda dalam kapal Portugis yang melakukan penjelajahan. Orang-orang inilah yang membuat catatan terperinci tentang seluk-beluk strategi, kelebihan, dan kekurangan pelayaran yang dilakukan Portugis.
Empat kapal Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman tiba di pelabuhan Banten pada 27 Juni 1596. Praktik kolonialisme Belanda di Nusantara segera dimulai, dan Cornelis de Houtman adalah pembuka jalannya. Dari Banten, rombongan ini melanjutkan pelayaran ke arah timur dengan menyusuri pantai utara Jawa hingga ke Bali.
Cornelis menjadi salah satu orang paling berpengaruh. Namun, Cornelis de Houtman dikenal sebagai kapten kapal yang berperilaku buruk. Semula kedatangannya diterima oleh orang-orang Nusantara dengan tangan terbuka. Namun, ulahnya mengubah relasi itu menjadi perseteruan dan peperangan.
Meskipun begitu, rombongan Cornelis de Houtman berhasil kembali ke Belanda pada 1597 dengan membawa serta banyak peti berisi rempah. Pelayaran pertama Belanda untuk mencari rempah di Nusantara kemudian dianggap sukses.
Keberhasilan rombongan de Houtman kemudian mendorong pelayaran-pelayaran lain dari Belanda menuju wilayah Nusantara. Pada 1598, sebanyak 22 kapal bertolak dari Belanda untuk mengikuti langkah rombongan Cornelis de Houtman. Kapal-kapal tersebut bukan merupakan kapal pemerintah Republik Belanda (Belanda berbentuk republik 1581 – 1806), melainkan milik perusahan-perusahaan swasta Belanda.
Salah satu rombongan di gelombang pelayaran kedua tersebut dipimpin oleh Jacob van Neck. Berbeda dengan de Houtman, van Neck bersikap lebih hati-hati dan tidak mencoba melawan para penguasa lokal Nusantara. Pada Maret 1599, rombongan van Neck berhasil mencapai Maluku yang kala itu menjadi penghasil utama rempah-rempah dalam jumlah besar. Keberhasilan van Neck menjangkau Maluku membuatnya untung besar saat kembali ke Belanda.
Pada tahun 1601, sebanyak 14 buah kapal dari Belanda kembali datang ke Nusantara. Rangkaian pelayaran itu lantas diikuti dengan langkah orang-orang Belanda memonopoli perdagangan rempah di sejumlah daerah Nusantara. Belanda sangat berhati-hati dalam melakukan kerja sama dengan kerajaan-kerajaan daerah di Nusantara. Mereka belajar dari kesalahan Portugis dan Spanyol. Hingga akhirnya Belanda terbilang cukup sukses memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Dari ketiga gelombang kedatangan ini memunculkan persaingan dagang antara perusahaan-perusahaan Belanda. Apalagi, orang-orang Belanda secara rutin mengirimkan kapal dagangnya ke wilayah Nusantara. Persaingan ini yang mendorong terbentuknya persatuan dagang Belanda yang disebut Vereenig de Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602.
Bangsa Eropa yang paling akhir masuk ke Nusantara adalah Inggris. Pada waktu itu Nusantara sudah dimonopoli oleh orang-orang Belanda. Namun, Inggris tidak membeli rempah-rempah dari Belanda karena saat itu Belanda dikuasai oleh Spanyol salah satu saingan Inggris. Inggris mengandalkan pembelian rempah-rempah dari Portugal.
Namun, situasi itu tidak berlangsung lama. Setelah terjadi perang 80 Tahun antara Inggris dan Portugal, Inggris tidak lagi mendapatkan rempah-rempah dari Lisbon, Portugal. Orang-orang Inggris mulai melakukan pelayaran ke timur untuk mencari rempah-rempah. Pelaut Inggris mengikuti jalur Portugis dan tiba di India. Inggris kemudian berupaya memperkuat kedudukannya di India dengan membentuk perusahaan dagang bernama East India Company (EIC) pada tahun 1600.
Pada awalnya Inggris telah memasuki Maluku dan tiba di Banda pada tahun 1601. Namun, di sana terjadi perselisihan dengan Belanda yang telah terlebih dahulu tiba di Maluku.
Untuk memperkuat pengaruhnya, Pemerintah Inggris mengirim utusannya ke Banten untuk mengadakan hubungan dagang. Rombongan Inggris yang sampai ke Banten di tahun 1602 dipimpin oleh Sir James Lancaster. Sultan Banten kemudian memberi izin kepada Inggris untuk mendirikan sebuah kantor dagang di daerah Banten. Selain itu, Inggris juga berhasil mendirikan beberapa kantor dagang di daerah lainnya seperti Ambon, Makasar, Jepara, dan Jayakarta pada tahun 1604.
Selanjutnya baca juga : Sejarah Penjajahan Bangsa-bangsa Eropa di Indonesia
Jangan lupa, kunjungi pula media sosial kami! Youtube : SD Strada Van Lith 1 Facebook : SD Strada Van Lith 1 Instagram : sdstrada_vanlith1